Menyebarnya agama Islam di Indonesia merupakan
suatu karunia Allah yang patut disyukuri oleh setiap muslim. Bukan hanya dalam
ucapan atau hati saja, tapi implementasi dalam bentuk sikap dan perbuatan
setiap muslim.
Salah satu pelopor penyebaran agama Islam di Indonesia terutama di Pulau
Jawa yang termasyhur adalah Walisongo. Pola penyebaran agama Islam secara
sukarela, tidak memaksa dan menyatu dengan budaya adat jawa mampu membuat
masyarakat menerima agama ini dengan terbuka. Islam yang diajarkan oleh para
wali ini masih terjaga baik sampai saat ini yaitu mayoritas
Islam
yang menganut madzhab Syafi’i. Namun bak pohon yang sudah tumbuh tua ada saja
benalu yang menempel pada pohon tersebut. Agaknya inilah gambaran Islam di
Indonesia sekarang. Ketika Islam sudah tertanam kuat di
masyarakat ada saja faham baru yang hendak mengganti bahkan menghilangkan
madzhab Syafi’i di Indonesia dengan dalih kembali
pada ajaran nabi Muhammad SAW mereka seolah
membuat ajaran modernisasi. Dengan
dalih bid'ah mereka mengharamkan ajaran ulama’ terdahulu seperti
tahlilan, membaca al-barzanji, sholawatan, ziarah kubur, dan sebagainya. Mereka
juga mengharuskan orang Islam untuk berijtihad sendiri, berpedoman pada Al-Qur’an
dan Hadits saja tanpa harus melihat pertimbangan dari ulama’- ulama’ salaf. Dan
inilah yang katanya disebut dengan modernisasi agama.
Jika dikembalikan pada konsep awal mereka yaitu “kembali pada ajaran nabi, siapa yang lebih tahu tentang
nabi? Siapa yang lebih faham tentang nabi? Dan siapa yang lebih mengerti tentang
hukum Islam? Apakah para ulama’ terdahulu ataukah para pengagum modernisasi
agama-agama ini?.
Adalah sesuatu yang janggal ketika seseorang sudah mulai meninggalkan
ajaran para ulama’ terdahulu, dan Islam nantinya pun akan berbeda dengan Islam zaman
nabi. Lalu dimana letak ajaran-ajaran kembali pada rasul? Bukankah ini akan
membuat Islam semakin jauh dari rasul. Ini adalah salah satu dari bahaya “Modernisasi
Islam” terus berkembang yang akan membuat kita semakin jauh dari ulama’.
Kenapa para missioner pendakwah mengarahkan sasaran dakwahnya kepada
para pelajar? Tentunya karena pelajar ini masih labil, masih mencari kebenaran
dengan ajaran-ajaran leluhur mereka pertahankan. Inilah moment yang paling
tepat tatkala kita sedang haus akan ilmu dan hati yang cenderung memberontak,
kita ditawarkan dan disuguhkan dengan makanan-makanan rohani yang sebenarnya
bertolak belakang dengan ajaran nabi Muhammad SAW. Alangkah riangnya otak dan
hati kita akan menerima ajaran-ajaran yang dibawa oleh kaum yang mengatasnamakan
modernisasi Islam, namun kenyataanya tidak sesuai dengan Al-Qur'an.
Kita tidak tahu nasib kita di ahirat kelak karena melakukan
penyelewengan ajaran. Dalam sebuah hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori
menyebutkan :
من فسرالقرأن برأيه فليتبوّء مقعده في ا لنار
(رواه ابخا رى)
Artinya
: Barang siapa menafsirkan Al-Qur'an dengan pendapatnya sendiri, maka hendaklah
ia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka. (HR.Bukhori)
Walhasil dengan tidak sengaja dan tidak langsung, kita sudah membeli
tiket ke Neraka jika kita sampai menerima ajaran-ajaran tersebut. Maka dari itu
sebagai generasi muslim sejati dalam mencari ilmu hendaklah memiliki guru yang
benar-benar berpegang teguh pada sumber ajaran dan mengikuti ulama'-ulama'
terdahulu yang sudah diketahui keabsahannya dalam bidangnya. Dan wajib bagi
seorang muslim untuk thulul amal ( berfikir panjang) sebelum mengambil
suatu keputusan atau ajaran.
ما خاب من استخرولاندم من اتشر
Artinya
: Tidak rugi orang yang mau beristikoroh dan tidak akan menyesal orang yang mau bermusyawarah.
0 komentar:
Posting Komentar