Oleh : Nur Colis, S.Pd.I
Ibarat anak ayam kehilangan induk, inilah yang dirasakan bangsa
Indonesia saat ini. Krisis pemimpin dan kepemimpinan nyaris menyentuh hampir
semua lembaga negara bahkan lembaga-lembaga masyarakat yang relatif otonom
terhadap negara. Tidak ada kepemimpinan yang bisa dijadikan acuan teladan bagaimana
bangsa harus melangkah menuju perbaikan di masa depan. Rata-rata pemimpin dalam
kepemimpinannya mengedepanakan kepentingan pribadi atau hanya sekedar menjadi
alat dari subyektif sendiri, keluarga atau kelompoknya. Para pemimpin seharusnya
mengedepankan kepentingan yang dipimpin di atas kepentingan yang lain.
Mengayomi dan mensejahterakan rakyat, tidak menyalahgunakan wewenang kepemimpinannya sebagai batu loncatan memperkaya diri dan berkuasa. Model
kepemimpinan seperti ini hanya akan menyengsarakan rakyat terlebih para kader
muda sebagai kader-kader pemimpin bangsa yang dapat terkontaminasi dengan
perbuatan para pemimpin yang tidak pro rakyat dan subyektif.
Sebagai pelajar Nahdlatul Ulama’ dalam bingkai organisasi Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama’
(IPPNU) yang menjunjung tinggi ahlakul karimah dan sudah digembleng dengan
semangat memimpin, dibekali dengan pengetahuan agama dan umum dari para guru
besar, sesepuh, kiyai dan ulama’ menjadi ujung tombak dalam mengembangkan
ajaran Islam Ahlusunnah waljamaah yang memiliki pemikiran pada arah pembangunan
manusia dengan sikap tawasuth, tasammuh, tawazun, I’tidal dalam bingkai rahmatan
lil alamin. Sikap dan pemikiran ini bila diterapkan dalam kepemimpinan akan
membawa dampak yang positif menuju perbaikan hidup dan kesejahteraan yang merata.
Pemikiran dan sikap NU seperti itulah
yang seharusnya dimiliki para pemimpin sekarang. Bersama membangun bangsa dalam
bidang moralitas dan karakter bangsa maupun keseimbangan hidup.
Pelajar NU dalam sejarahnya telah melahirkan tokoh-tokoh besar yang ikut
berperan aktif dalam kemajuan bangsa ini, seperti beliau KH Abdurrahman Wahid
(Gusdur) yang pernah menjadi orang nomer wahid di Indonesia, memimpin
bangsa ini. Dan tokoh-tokoh lain seperti Dr. KH M. Tolhah Hasan (singosari) Mantan
Menteri Agama (Kabinet Indonesia bersatu-Era Gusdur), Dr. KH. A Hasyim Muzadi
(Malang) ketua pengurus Besar NU di Jakarta, Bp. Hamzah Haz, mantan wakil
presiden RI, Ida Fauziyah (anggota DPR RI), Khofifah Indar Parawansa (Menteri Pemberdayaan Perempuan 1999-2001, dan Menteri Sosial 2014 hingga sekarang), dan masih banyak lagi tokoh-tokoh NU lainnya.
Dan ini menunjukan bahwa kader-kader NU begitu solid dan militan, membuktikan
bahwa pelajar sebagai kader muda NU bisa menjadi ujung tombak kepemimpinan
di masa mendatang.
Pelajar sebagai kader penerus bangsa memang telah disiapkan untuk
menjadi pemimpin di masa yang akan datang, berkiprah melanjutkan kepemimpinan
para pemimpin sekarang ini, harus didukung sepenuhnya dengan memberi
contoh-contoh keteladanan dan jangan sampai mewariskan watak-watak pragmatis
dan subyektif dari para pemimpin.
Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagai yang dituakan dan mempunyai posisi diatas,
wajib memberikan pemahaman kepada banom-banomnya tertutama banom terkecil,
IPNU-IPPNU, untuk menjunjung tinggi pentingnya menjaga amanah, sportifitas, dan kreditbilitas. Artinya kepemimpinan yang
didasari akan hal itu sudah barang tentu diharapkan masyarakat luas. Karna
menjadi pemimpin berarti mengemban amanah yang begitu berat, dan kelak
akan dipertanggungjawabkan di ahirat. Menjadi pemimpin tidak hanya sekedar
ngomong di public dan mengumbar janji alias no action talk only,
tapi bukti nyata kinerja dan realistis. Sehingga nantinya ia tidak terkena
pasal berupa memo dari Allah Subhanahu Wata’ala yang terdapat dalam surat As-Shaff ayat 3, "kaburo maqtan 'indallahi an taqulu ma la
taf'alun",(sesungguhnya murka Allah ada pada
mereka yang perkataannya tidak sesuai dengan perbuatan). Na'uzubillah min dzalik.
Meskipun pada kenyataanya menjadi
pemimpin bukanlah hal yang ringan dan beresiko besar, dengan mengemban amanah
dari rakyat, tangggung jawab dan tugas yang bertumpuk-tumpuk, akan tetapi sudah
seharusnya dijalankan dengan kehati-hatian dan fairplay. Justru kesadaran menjadi pemimpin yang berat dan penuh
resiko ini benar-benar diimani oleh calon-calon pemimpin, maka para
pemimpin tidak akan berbuat gegabah dalam mengambil kebijakan dan tidak
menyalahgunakan jabatan yang dipegang. []
hebat (y) ... semoga bermanfaat sir :D
BalasHapusAamiin Ya Rabbal 'Aalamiin ...
BalasHapus