Ibu,
Anakmu Ingin Kuliah
Oleh : Melly Lestari
Angin fajar yang berhembus mendamaikan hatinya. Datangnya
fajar seakan-akan membawa berita gembira tentang cahaya yang selalu hadir menggantikan
malam yang gelap. Bagaikan sebuah harapan yang datang tatkala segala kepedihan
merasuki jiwa, menggantikan duka yang menggelapkan hati. Mengubahnya pada
kebeningan fajar yang selalu membawa embun-embun baru di babak kehidupan.
Karena di balik kesulitan selalu ada kemudahan.
Gemericik
air wudhu mengalir membasuh wajahnya, harapan dan cita-cita haruslah
diperjuangkan. Ya, sebuah keinginan untuk melanjutkan kuliah yang tak bisa
langsung ia dapatkan haruslah diperjuangkan, entah bagaimana caranya. Tanpa menyusahkan
ibunya, orangtua satu-satunya, setelah kepergian bapaknya dua bulan lalu karena
kecelakaan.
Dhuha
itu Fajar berpamit pada sang Ibu untuk menjemput karunia Allah. Menjemputnya dengan
usaha yang haruslah diiringi dengan sifat tawakal.
“Bu,
Fajar berangkat jualan dulu … assalamu’alaikum.”
Ucap Fajar sembari mencium tangan sang ibu.
“Walaikumsalam warahmatullah … hati-hati ya, Nak!” ucap sang ibu sembari tersenyum
melihat sang anak yang gigih bekerja. Fajar adalah seorang penjual buku setelah
ia lulus SMA tiga bulan yang lalu. Meski usianya masih muda, namun ia tak
pernah merasa minder harus menjajakan bukunya kebeberapa tempat dengan berjalan
kaki. Fajar biasa berjualan di depan kampus, masjid, pasar, atau tempat-tempat
yang ramai lainnya.
“Fajar
itu jualan apa tho, Buk? Jualan kok buku? Apa ya laku? Mending dia mencari
kerjaan lain … jadi supir atau apa lah, dia kan bisa nyupir.”
Begitulah
komentar tetangga Fajar pada ibunya, ibu Fatim. Namun ibu Fatim selalu
menanggapi komentar mereka dengan senyum, jawaban beliau teramat sederhana.
Bahwa beliau membebaskan Fajar untuk bekerja apa saja yang penting halal, dan
dia menikmati pekerjaannya tersebut.
Begitu
pun Fajar, ia sangat mencintai buku. Karena di sanalah sumber ilmu itu. buku
adalah teman yang paling baik. Buku adalah media yang luar biasa untuk belajar,
karena tanpa bertatap muka dengan penulis ia bisa belajar banyak hal dari buku.
Buku adalah bukti karya sebuah kehidupan. Dan itu sebabnyalah ia berjualan buku
dengan bekerjasama pada penerbit di daerahnya, ia memilih di bagian pemasaran.
Memang keuntungannya tidak seberapa, namun ia selalu optimis. Dan yang paling
ia suka adalah, ia akan mendapatkan bonus buku dari penerbit jika setiap buku
yang ia bawa laris. Dan dari sanalah ia bisa membaca dan memahami ilmu melalui
buku. Fajar pun tak terlalu pusing dengan masalah keuntungan dan kerugian.
Karena yang ia tahu, ia harus berusaha untuk memerjuangkan mimpinya untuk
kuliah dan terus memperdalam ilmu pengetahuannya melalui buku.
“Buku-buku
… ini Bu, buku bacaan bagus, cocok untuk anak atau saudara Ibu yang sedang
belajar agama.” Ucap Fajar mempromosikkan bukunya pada seorang ibu paruh baya
yang sedang melihat-lihat bukunya. Karena kebanyakan buku yang Fajar jual
adalah buku tentang keagamaan. Dan alhamdulillah,
ibu itu pun tertarik dan membeli bukunya.
Setelah
sempat berhenti sebentar, Fajar kembali melangkahkan kakinya menuju masjid yang
melewati taman kota. Di sana ia melihat empat pelajar SMA yang sedang berkumpul
dan bersantai ria. Miris … itulah kesan yang Fajar rasakan ketika tahu bahwa
pada jam sembilan pagi ini harusnya mereka masih belajar di sekolahan. Namun
mereka malah bolos! Entah apa yang ada di benak para pelajar itu, mungkin
mereka tidak menyadari betapa pentingnya belajar, dan betapa banyak orang di
luar sana yang ingin sekali sekolah namun tak mampu sekolah karena kekurangan
biaya. Fajar mendekat kearah mereka.
“Assalamu’alaikum, Dek … kok kalian malah
di sini? Bolos sekolah, ya?” tanya Fajar ramah.
“Emang
kenapa? Masalah buat Loo?” jawab salah satu dari pelajar itu.
“Dek,
apa yang kalian cari di tempat ini? Kalian tidak kasihan sama orang tua yang
memeras keringat hanya untuk menyekolahkan kalian?”
Jawaban
Fajar kali ini malah menyulut emosi para pelajar itu. mereka merasa terganggu,
sedangkan niat Fajar hanya ingin menyadarkan mereka bahwa apa yang mereka
lakukan ini tidak baik malah mendapatkan respon negatif.
“Hei
… penjual buku jeleg! Kamu jangan ceramahin kami ya? Kalau mau ceramah sana ke
masjid saja, kami tidak butuh ceramahmu!” Fajar yang mendengar jawaban itu geleng-geleng
kepala, dalam hatinya mengucap istighfar. Ia telah gagal menyadarkan mereka.
Waktu
dhuha sebentar lagi berakhir. Fajar segera mempercepat langkahnya menuju masjid
yang biasa ia sambangi untuk shalat dhuha, masjid Al-Falah. Ia sadar bahwa hari
ini adalah hari jum’at. Dan nanti sore di masjid ini akan ada pengajian rutin
yang diikuti oleh banyak jama’ah dari berbagai daerah. Dan Fajar bisa
menggunakan kesempatan ini untuk berjualan buku sekaligus mengkali ilmu.
Indah….
Seusai
shalat dhuha, seperti biasa yang dilakukannya adalah menyapu pelataran masjid Al-Falah
yang dipenuhi pohon linden. Daunnya berjatuhan di halaman masjid. Dan karena
kebiasaannya inilah Fajar sering mendapat julukan ‘si penjaga masjid’ dari
orang-orang yang baru hadir di masjid tersebut. Ia tak terlalu mempedulikan
julukan itu, yang ia lakukan itu adalah sebuah kebiasaan yang selalu diajarkan
oleh sang bapak saat ia masih kecil, ketika ia sering menemani bapaknya menyapu
pelataran musholla di daerahnya. Dan hal ini selalu mengingatkannya pada sang
bapak. Rindu….
“Wadhdluha
… wallaili idza sajaa … maa wadda’aka robbuka wamaa kolaa … walal aakhirotu
khoirullaka minal uulaa….” Lantunan murotal QS. Adh-dluha bergema di seluruh
wilayah masjid. Fajar segera menyelesesaikan pekerjaannya. Ia harus segera
bersiap-siap untuk mengikuti shalat jum’at yang sebentar lagi akan dimulai.
Setengah
jam kemudian, masjid Al-Falah sudah mulai sesak dengan para jama’ah. Fajar pun
bergegas mempercepat langkahnya menuju shaf yang paling depan. Dan pada pukul
setengah satu siang, shalat jum’at telah usai. Ia bergegas menuju tempat
jualannya di depan masjid dan menggelar buku-buku yang ia bawa sedari tadi
pagi.
Namun
saat berjalan ke sana, tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu. Ia pun melengok
kebawah dan mendapati sebuah dompet tebal berwarna hitam. Gemetar hati Fajar
meraihnya. Ia mengambil dompet itu dan segera berlari menemui pengurus masjid
Al-Falah untuk menyerahkan dompet tersebut. Sebelum semua jama’ah benar-benar
pulang, ia harus segera menyerahkan dompet itu dengan harapan besar bahwa sang
pemilik dompet itu belum meninggalkan masjid. Fajar berlari kencang. Dan dengan
nafas yang ngos-ngosan fajar segera menjelaskannya.
“Assalamu’alaikum, Pak! Ini saya
menemukan dompet yang tadi terjatuh di pelataran masjid. Saya harap Bapak
segera mengumumkannya sebelum semua jama’ah pulang.
“Walaikumsalam warahmatullah. Baiklah, Mas!”
Setelah
tahu bahwa dompet yang ia temukan itu telah ia serahkan pada pengurus masjid,
Fajar segera bergegas menuju depan masjid untuk berjualan buku. Karena bakda
Ashar nanti pengajiannya akan segera dimulai.
“Assalamu’alaikum, pengumunan …
pengumuman! Bagi jama’ah shalat jum’at yang merasa kehilangan dompet, harap
segera menemui pengurus masjid, sekarang. Terima kasih!”
Pengumuman
itu terdengar dari microfon masjid Al-Falah. Fajar tersenyum, ia berharap bahwa
sang pemilik dompet itu segera mengambil haknya. Namun tak selang 10 menit
kemudian, Fajar dipanggil dan disuruh menghadap pengurus masjid. Dengan penuh
tanda tanya Fajar bergegas menemui pengurus masjid.
“Assalamu’alaikum, Pak? Ada yang bisa
saya bantu?” tanya Fajar ramah.
“Walaikumsalam warahmatullah, Nak! Ini Pak Hassan yang dompetnya kamu temukan,
beliau mau berterima kasih denganmu.” Jawab pengurus masjid itu.
Kemudian
pak Hassan menjabat tangan Fajar dan memeluknya erat.
“Terima
kasih banyak, Nak! memang isi dompet ini tidaklah terlalu berharga, namun
menemukan orang jujur sepertimu itulah yang berharga. Terima kasih!”
Mendengar
jawaban itu Fajar hanya tersenyum, kemudian menjawab.
“Sama-sama,
Pak! Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan.”
Jawab
Fajar santai. Kemudian Pak Hassan menyerahkan beberapa lembar uang pada Fajar
namun Fajar menolak. Meski Pak Hassan memaksa, Fajar tetap menolak dan menolak.
Fajar tak mau pamrih. Sedangkan pak Hassan merasa sangat beruntung bertemu orang
jujur seperti itu, namun beliau bingung harus membalasnya dengan apa.
“Kamu
mahasiswa ya, Nak? Namamu siapa?” tanya Pak Hassan. Fajar yang mendengar bahwa
dirinya dikira seorang mahasiswa hanya tersenyum kecut. Kuliah saja belum
bagaimana bisa disebut mahasiswa? Pikirnya dalam hati.
“Belum
kuliah, Pak! Baru berusaha untuk bisa kuliah. Nama saya Muhamad Fajar.”
Jawab
Fajar sembari tersenyum. Begitupun pak Hassan yang ikut tersenyum. Beliau
adalah seorang dosen di universitas Syarif Hidayatullah. Dan beliau menawari
Fajar untuk kuliah di sana. Meski sempat tak percaya, namun Pak Hassan berhasil
menyakinkannya. Ucapan hamdalah seketika memenuhi hatinya.
“Ibu
… anakmu akan kuliah! Alhamdulillah!”
ucap Fajar dalam hati. Ia yakin bahwa Allah akan selalu ada untuknya. Untuk
orang-orang yang yakin akan kehadiran Allah, dalam setiap episode kehidupan.
“Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan
karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.”
(QS. Adh-Dhuha : 5)
*Penulis adalah anggota PAC. IPPNU Kayen
Berdomisili di
desa Jimbaran-Kayen
0 komentar:
Posting Komentar