Selasa, 31 Mei 2016



Ibu, Anakmu Ingin Kuliah
Oleh : Melly Lestari

            Angin fajar yang berhembus mendamaikan hatinya. Datangnya fajar seakan-akan membawa berita gembira tentang cahaya yang selalu hadir menggantikan malam yang gelap. Bagaikan sebuah harapan yang datang tatkala segala kepedihan merasuki jiwa, menggantikan duka yang menggelapkan hati. Mengubahnya pada kebeningan fajar yang selalu membawa embun-embun baru di babak kehidupan. Karena di balik kesulitan selalu ada kemudahan.
Gemericik air wudhu mengalir membasuh wajahnya, harapan dan cita-cita haruslah diperjuangkan. Ya, sebuah keinginan untuk melanjutkan kuliah yang tak bisa langsung ia dapatkan haruslah diperjuangkan, entah bagaimana caranya. Tanpa menyusahkan ibunya, orangtua satu-satunya, setelah kepergian bapaknya dua bulan lalu karena kecelakaan.
Dhuha itu Fajar berpamit pada sang Ibu untuk menjemput karunia Allah. Menjemputnya dengan usaha yang haruslah diiringi dengan sifat tawakal.
“Bu, Fajar berangkat jualan dulu … assalamu’alaikum.” Ucap Fajar sembari mencium tangan sang ibu.
Walaikumsalam warahmatullah … hati-hati ya, Nak!” ucap sang ibu sembari tersenyum melihat sang anak yang gigih bekerja. Fajar adalah seorang penjual buku setelah ia lulus SMA tiga bulan yang lalu. Meski usianya masih muda, namun ia tak pernah merasa minder harus menjajakan bukunya kebeberapa tempat dengan berjalan kaki. Fajar biasa berjualan di depan kampus, masjid, pasar, atau tempat-tempat yang ramai lainnya.
“Fajar itu jualan apa tho, Buk? Jualan kok buku? Apa ya laku? Mending dia mencari kerjaan lain … jadi supir atau apa lah, dia kan bisa nyupir.”
Begitulah komentar tetangga Fajar pada ibunya, ibu Fatim. Namun ibu Fatim selalu menanggapi komentar mereka dengan senyum, jawaban beliau teramat sederhana. Bahwa beliau membebaskan Fajar untuk bekerja apa saja yang penting halal, dan dia menikmati pekerjaannya tersebut.
Begitu pun Fajar, ia sangat mencintai buku. Karena di sanalah sumber ilmu itu. buku adalah teman yang paling baik. Buku adalah media yang luar biasa untuk belajar, karena tanpa bertatap muka dengan penulis ia bisa belajar banyak hal dari buku. Buku adalah bukti karya sebuah kehidupan. Dan itu sebabnyalah ia berjualan buku dengan bekerjasama pada penerbit di daerahnya, ia memilih di bagian pemasaran. Memang keuntungannya tidak seberapa, namun ia selalu optimis. Dan yang paling ia suka adalah, ia akan mendapatkan bonus buku dari penerbit jika setiap buku yang ia bawa laris. Dan dari sanalah ia bisa membaca dan memahami ilmu melalui buku. Fajar pun tak terlalu pusing dengan masalah keuntungan dan kerugian. Karena yang ia tahu, ia harus berusaha untuk memerjuangkan mimpinya untuk kuliah dan terus memperdalam ilmu pengetahuannya melalui buku.
“Buku-buku … ini Bu, buku bacaan bagus, cocok untuk anak atau saudara Ibu yang sedang belajar agama.” Ucap Fajar mempromosikkan bukunya pada seorang ibu paruh baya yang sedang melihat-lihat bukunya. Karena kebanyakan buku yang Fajar jual adalah buku tentang keagamaan. Dan alhamdulillah, ibu itu pun tertarik dan membeli bukunya.
Setelah sempat berhenti sebentar, Fajar kembali melangkahkan kakinya menuju masjid yang melewati taman kota. Di sana ia melihat empat pelajar SMA yang sedang berkumpul dan bersantai ria. Miris … itulah kesan yang Fajar rasakan ketika tahu bahwa pada jam sembilan pagi ini harusnya mereka masih belajar di sekolahan. Namun mereka malah bolos! Entah apa yang ada di benak para pelajar itu, mungkin mereka tidak menyadari betapa pentingnya belajar, dan betapa banyak orang di luar sana yang ingin sekali sekolah namun tak mampu sekolah karena kekurangan biaya. Fajar mendekat kearah mereka.
Assalamu’alaikum, Dek … kok kalian malah di sini? Bolos sekolah, ya?” tanya Fajar ramah.
“Emang kenapa? Masalah buat Loo?” jawab salah satu dari pelajar itu.
“Dek, apa yang kalian cari di tempat ini? Kalian tidak kasihan sama orang tua yang memeras keringat hanya untuk menyekolahkan kalian?”
Jawaban Fajar kali ini malah menyulut emosi para pelajar itu. mereka merasa terganggu, sedangkan niat Fajar hanya ingin menyadarkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan ini tidak baik malah mendapatkan respon negatif.
“Hei … penjual buku jeleg! Kamu jangan ceramahin kami ya? Kalau mau ceramah sana ke masjid saja, kami tidak butuh ceramahmu!” Fajar yang mendengar jawaban itu geleng-geleng kepala, dalam hatinya mengucap istighfar. Ia telah gagal menyadarkan mereka.
Waktu dhuha sebentar lagi berakhir. Fajar segera mempercepat langkahnya menuju masjid yang biasa ia sambangi untuk shalat dhuha, masjid Al-Falah. Ia sadar bahwa hari ini adalah hari jum’at. Dan nanti sore di masjid ini akan ada pengajian rutin yang diikuti oleh banyak jama’ah dari berbagai daerah. Dan Fajar bisa menggunakan kesempatan ini untuk berjualan buku sekaligus mengkali ilmu. Indah….
Seusai shalat dhuha, seperti biasa yang dilakukannya adalah menyapu pelataran masjid Al-Falah yang dipenuhi pohon linden. Daunnya berjatuhan di halaman masjid. Dan karena kebiasaannya inilah Fajar sering mendapat julukan ‘si penjaga masjid’ dari orang-orang yang baru hadir di masjid tersebut. Ia tak terlalu mempedulikan julukan itu, yang ia lakukan itu adalah sebuah kebiasaan yang selalu diajarkan oleh sang bapak saat ia masih kecil, ketika ia sering menemani bapaknya menyapu pelataran musholla di daerahnya. Dan hal ini selalu mengingatkannya pada sang bapak. Rindu….
“Wadhdluha … wallaili idza sajaa … maa wadda’aka robbuka wamaa kolaa … walal aakhirotu khoirullaka minal uulaa….” Lantunan murotal QS. Adh-dluha bergema di seluruh wilayah masjid. Fajar segera menyelesesaikan pekerjaannya. Ia harus segera bersiap-siap untuk mengikuti shalat jum’at yang sebentar lagi akan dimulai.
Setengah jam kemudian, masjid Al-Falah sudah mulai sesak dengan para jama’ah. Fajar pun bergegas mempercepat langkahnya menuju shaf yang paling depan. Dan pada pukul setengah satu siang, shalat jum’at telah usai. Ia bergegas menuju tempat jualannya di depan masjid dan menggelar buku-buku yang ia bawa sedari tadi pagi.
Namun saat berjalan ke sana, tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu. Ia pun melengok kebawah dan mendapati sebuah dompet tebal berwarna hitam. Gemetar hati Fajar meraihnya. Ia mengambil dompet itu dan segera berlari menemui pengurus masjid Al-Falah untuk menyerahkan dompet tersebut. Sebelum semua jama’ah benar-benar pulang, ia harus segera menyerahkan dompet itu dengan harapan besar bahwa sang pemilik dompet itu belum meninggalkan masjid. Fajar berlari kencang. Dan dengan nafas yang ngos-ngosan fajar segera menjelaskannya.
Assalamu’alaikum, Pak! Ini saya menemukan dompet yang tadi terjatuh di pelataran masjid. Saya harap Bapak segera mengumumkannya sebelum semua jama’ah pulang.
Walaikumsalam warahmatullah. Baiklah, Mas!”
Setelah tahu bahwa dompet yang ia temukan itu telah ia serahkan pada pengurus masjid, Fajar segera bergegas menuju depan masjid untuk berjualan buku. Karena bakda Ashar nanti pengajiannya akan segera dimulai.
Assalamu’alaikum, pengumunan … pengumuman! Bagi jama’ah shalat jum’at yang merasa kehilangan dompet, harap segera menemui pengurus masjid, sekarang. Terima kasih!”
Pengumuman itu terdengar dari microfon masjid Al-Falah. Fajar tersenyum, ia berharap bahwa sang pemilik dompet itu segera mengambil haknya. Namun tak selang 10 menit kemudian, Fajar dipanggil dan disuruh menghadap pengurus masjid. Dengan penuh tanda tanya Fajar bergegas menemui pengurus masjid.
Assalamu’alaikum, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Fajar ramah.
Walaikumsalam warahmatullah, Nak! Ini Pak Hassan yang dompetnya kamu temukan, beliau mau berterima kasih denganmu.” Jawab pengurus masjid itu.
Kemudian pak Hassan menjabat tangan Fajar dan memeluknya erat.
“Terima kasih banyak, Nak! memang isi dompet ini tidaklah terlalu berharga, namun menemukan orang jujur sepertimu itulah yang berharga. Terima kasih!”
Mendengar jawaban itu Fajar hanya tersenyum, kemudian menjawab.
“Sama-sama, Pak! Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan.”
Jawab Fajar santai. Kemudian Pak Hassan menyerahkan beberapa lembar uang pada Fajar namun Fajar menolak. Meski Pak Hassan memaksa, Fajar tetap menolak dan menolak. Fajar tak mau pamrih. Sedangkan pak Hassan merasa sangat beruntung bertemu orang jujur seperti itu, namun beliau bingung harus membalasnya dengan apa.
“Kamu mahasiswa ya, Nak? Namamu siapa?” tanya Pak Hassan. Fajar yang mendengar bahwa dirinya dikira seorang mahasiswa hanya tersenyum kecut. Kuliah saja belum bagaimana bisa disebut mahasiswa? Pikirnya dalam hati.
“Belum kuliah, Pak! Baru berusaha untuk bisa kuliah. Nama saya Muhamad Fajar.”
Jawab Fajar sembari tersenyum. Begitupun pak Hassan yang ikut tersenyum. Beliau adalah seorang dosen di universitas Syarif Hidayatullah. Dan beliau menawari Fajar untuk kuliah di sana. Meski sempat tak percaya, namun Pak Hassan berhasil menyakinkannya. Ucapan hamdalah seketika memenuhi hatinya.
“Ibu … anakmu akan kuliah! Alhamdulillah!” ucap Fajar dalam hati. Ia yakin bahwa Allah akan selalu ada untuknya. Untuk orang-orang yang yakin akan kehadiran Allah, dalam setiap episode kehidupan.
“Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.” (QS. Adh-Dhuha : 5)

*Penulis adalah anggota PAC. IPPNU Kayen
Berdomisili di desa Jimbaran-Kayen

0 komentar:

Posting Komentar